Aku Tidak Akan Jadi Guru,Tapi….
Langit sedang mendung, bau hujan sudah mulai tercium oleh hidung. Seorang
guru tiba-tiba memanggilku ketika jam pelajaran masih berlangsung.Sesaat itu
juga, guru yang sedang mengajar keluar untuk menjawab panggilan Ibu Enda.
Mereka berbisik beberapa menit dan Ibu Enda memangggilku serta seorang teman
lain dengan sebuah isyarat, yang tentu saja membuatku sangat bingung.Dengan seribu
pertanyaan, aku menghampirinya.
“Selamat nak
kami memilih kalian menjadi wakil sekolah dalam lomba siswa berprestasi” kata
Ibu Enda dengan beberapa tetes keringat yang sudah menghiasi wajahnya.
“I..Iya buk”
hanya kata itulah yang dapat keluar dari mulutku.Memang, itu bukan kali pertama
aku mengikuti sebuah lomba.Tetapi lomba siswa berprestasi itu merupakan lomba
yang sangat bergengsi.
Sepulangnya dari sekolah, tentu
saja berita ini kusampaikan secara langsung kepada orangtua. Mereka sangat
senang ketika mendengarku akan mengikuti lomba lagi.Tidak seperti hari-hari
biasanya, akupun segera bergegas menuju rumah Ibu Enda sesuai yang ia minta
kepadaku sesaat setelah memanggilku di kelas.
Ibu Enda sangatlah berbeda dari
keseharian di kelas.Ia banyak basa-basi sebelum mulai mengajar. Ibu Enda tinggal
di sebuah mess kecil dipojok sekolah. Suaminya merupakan warga asli Tejakula
sedangkan ia merupakan orang yang bukan berasal dari Tejakula. Ibu Enda
memiliki dua orang putri, dimana salah satu diantaranya adalah putri kandung
dan putri lain merupakan titipan dari saudaranya. Jumlah tersebut akan segera bertambah karean
Ibu Enda sedang hamil muda.
Kesenanganku akan mengikuti
lomba tiba-tiba saja hilang begitu saja ketika Ibu Enda memberitahu
konsekwensiku mengikuti lomba itu.
“Ini akan sangat
berat, tapi nanti hasilnya akan lebih dari yang kamu bayangkan,”kira-kira
begitulah pesan Ibu Enda. Jiwaku yang masih kecil membuatku merasa tertantang dan
ingin tahu lebih banyak lagi apa yang akan terjadi selanjutnya jika aku
mengiyakan tawaranya.
Seolah mengetahui apa yang aku
pikirkan, Ibu Enda beranjak dari kursinya untuk pergi ke kamarnya.Ia datang
bukan dengan sebuah buku, melainkan setumpuk buku tebal dari kelas 4 sampai
dengan kelas 6. Dengan kata lain aku harus mengingat satu tingkat materi di
bawah dan di atas tingkatku berdiri saat ini.Tentu sangat berat rasanya karena
mata pelajaran yang diujikan hamper secara keseluruhan termasuk olahraga, mata
pelajaran yang paling sulit bagiku.
Keesokan harinya
Sesaat setelah pulang sekolah,
aku makan dengan tergesa-gesa dan berpamitan untuk belajar di rumah Ibu Enda.Pembinaan
pada waktu itu membahas tentang IPA kelas enam.Tentu saja kebingungan yang
memenuhi pikiranku tatkala mendengar penjelasan dari ibu Enda.Entah kenapa
setelah beberapa lama aku menjadi terbiasa.Bukan terbiasa untuk belajar,
melainkan terbiasa untuk berusaha dan berjuang menuasai materi yang menggantung
setingkat di atasku.Pembinaan itu selesai pada pukul 5.30 sore.Wajah lelah
sudah sangat jelas terukir, diwajah kami berdua.Rasa senangtentu saja menggelayut
ingin segera bersantai di rumah.
Dua hari sebelum lomba
Pagi itu agak berbeda dengan
pagi-pagi yang lain.Ketika temanku sedang menikmati hari libur, aku harus
berlatih senam.Minggu itu aku dilatih oleh guru olah raga baru yang notabene
adalah guru abdi di sekolahku, tentu saja ditemani oleh Ibu Enda.
Setelah dua kali melakukan
menyelesaikan senam yang akan dilombakan, Pak wayan, guru baru itu,
menghampiriku.
“Ada sesuatu
yang aneh ketika kamu melakukan senam tadi.Kamu seperti tidak memberikan tenaga
sedikitpun sehingga gerakanmu terlihat lemas.Kamu seperti membenci dan tidak
serius dalam melakukan senam ini” kata pak wayan to the point.Tentu saja aku kesal dikatakan seperti itu.Menurutku,
semua tenaga telah kukeluarkan untuk mengiringi musik sesuai irama tetapi aku dikatakan
tidak serius.
Ketika senam ketiga akan
berlangsung, Pak Wayan berbisik kepada Ibu Enda, entah apa yang mereka
diskusikan.Ibu Enda menghampiri dan menasehatiku.
Setelah diceramahi, aku baru menyadari kesalahanku dalam senam.Aku memang
melakukanya secara serius. Tetapi aku sama sekali tidak memberikan tenaga
kepada badanku untuk bergerak, jadi kesannya aku tidak bersemangat dan menyerupai
orang yang terpaksa.Sesuatu yang paling kuingat saat itu adalah ketika Ibu Enda
memegang tangan kiriku dan menyuruhku menggerakkan seperti biasa. Kemudian ia
membandingkanya dengan tangan kananku yang ia minta untuk beri tenaga
“Kepalkan gus,
sama sperti orang ketika memukul sesuatu. Genggam tanganmu kuat-kuat” katanya
sambil dengan telaten memperlihatkan perbedaan antara tangan kiri dan kananku.
Secercah cahaya tentu tanpa
sadar menyentuh alam bawah sadarku.
“Itu dia, aku
menemukanya” kataku dalam hati.
Senampun diulangi dari awal,
tentunya dengan jurus baru tadi.Saat itu pertama kalinya aku merasakan senam
yang sesungguhnya.Semangat sangat terasa ketika aku menirukan intruksi Pak
Wayan yang sebelumnya terkesan membosankan.
Tape dimatikan lagi ketika senam
akan memasui gerakan pendinginan.Pak wayan ternyata mengetahui keadaanku dan
memutuskan untuk menyelesaikan latihan.
Di rumah aku merasa sangat
senang karena aku menyadari bahwa semua yang kulakukan ternyata tidak kulandasi
dengan semangat.Mungkin itu juga alasan mengapa teman-teman lain selalu
mengejekku dan menempatkan aku menjadi pelengkap penderita. Apapun itu, yang
jelas salah satu alasanku malu tampil di depan umum dalam hal apapun adalah
karena aku memiliki kekurangan yang terus dijadikan bahan ejekan oleh
teman-temanku. Aku memang tidak sesempurna teman lain. Karena sebuah kecelakaan
masa kecil, leherku tidak dapat aku tegakkan dengan sempurna sehingga aku
menjadi sangat minder.
Hari terakhir untuk latihan
Sebelum
latihan, aku menceritakan ketakutan dan masalahku kepada Ibu Enda dan responya
sangat membuatku terkejut.Ia pun menceramahiku terhadap ketakutan yang aku
miliki. Waktu itu aku mulai sedikit sadar mengapa ia dikatakan sebagai guru
yang galak.
Datangnya Pak Wayan membuat
latihan senam harus dilaksanakan.Senam terasa sangat berbeda setelah
kesalahanku dibenahai kemarin.Apalagi Ibu Endapada waktu itu menyemangatiku
dari luar lapangan dengan dramatisasinya yang sangat khas.Senampun selesai, dan
dilanjutkan oleh latihan bidang akademik oleh Ibu Enda.Pak wayan memacu sepeda
motornya meninggalkan sekolah.
Latihan terakhir lebih kepada
latihan soal.Materi yangdiberikan juga tidak terlalu berat sehingga aku merasa
sangat senang ketika pembelajaran telah selesai.
Memulai pertempuran
Aku berangkat bersama partnerku,
Puspa, cewek yang terpilihmengikuti lomba selain aku.Panitia penyelenggara
meminta setiap sekolah untuk mengirimkan dua wakilnya, laki-laki dan perempuan,
dalam kompetisi ini.
Detak jantungku mulai meningkat,
bahkan mendahului mulainya lomba.Semua perwakilan dari satu kecamatan telah
memenuhi SD 8 yang menjadi tempat perlombaan.Penilaian pertama adalah senam.
Kabar baiknya, urutan tampil di urut dari nomor sekolah sehingga aku yang sekolah
di SD ke 6 dari 8 SD di Tejakula mendapat tempat agak dibelakang dan
dilanjutkan dengan kecamatan lain.
“Semangat gus.
Jangan lihat kanan kiri, anggap kamu yang paling bisa dan anggap semua orang
selain kamu salah.”Kata Ibu Enda memberiku semangat sesaat sebelum terjun ke
lapangan. Pak Wayanpun turut mengacungi jempol dari sisi lain lapangan yang
menambah semangatku untuk tampil.
Tidak ada masalah dengan
penampilanku pada waktu itu, demam “lapangan” untungnya sudah berakhir.Gerakan
kemudian memasuki fase pendinginan. Terjadi kekacauan gerakan pada saat senam
akan berakhir.Sebagian besar peserta melakukan gerakan berbeda denganku.Keinginan
untuk mengubah gerakan kubatalkan karena aku mengingat kata-kata Ibu Enda.Akupun
dengan percaya diri melanjutkan senam sampai akhir.
Kabar baik kujumpai setelah keluar
lapangan karena gerakanku ternyata benar.Aku sangat berterima kasih kepada Ibu
Enda pada waktu itu, tetapi aku tidak berani untukmengungkapkanya secara
langsung.
Lomba dilanjutkan dengan tes
tulis yang terdiri dari beberapa mata pelajaran yang salah satunya adalah Matematika,
pelajaran yang kusukai.Betapa terkejutnya aku ketika soal matematika yang kukerjakan
merupakan soal-soal olimpiade yang beberapa waktu laludibahas saat pembinaan.
Aku memang pernah mengikuti olimpiade matematika dan soalnya tidak jauh berbeda
dari yang diujikan. Untuk siswa lain, mereka tampak sangat kesulitan dalam
mengerjakan soal itu.
Setelah selesai mengerjakan mata
pelajaran terakhir, aku segera keluar dari kelas dan mencari Ibu Enda serta Pak
Wayan.Mereka berdua rupanya telah menunggu dengan harap-harap cemas.Aku
bergegas mencari mereka dan tentu saja bertanya tentang soal-soal yang
membuatku kesulitan. Begitu juga denga Puspa, kami berempat saling share sesuatu saat lomba tadi.
“Yaah tidak
apa-apa, yang jelas kamu sudah berusaha dan hasilnya mudah-mudahan murni,”
harap Ibu Enda padaku.Setelah berkenalan dan bercengkrama dengan teman-teman
baru, kamipun segera pulang.
Kembali hidup normal
Waktu itu merupakan jam dimana
aku harus pulang dari sekolah.Tiba-tiba bapak kepala sekolah memanggilku untuk
menghadap ke ruang guru. Di sana pula diumumkan bahwa aku menjadi juara pertama
dalam kategori putra dan akan berlomba ke tingkat kabupaten.Perasaanku tidak
dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Aku begitu senang sampai-sampai aku
berteriak di kantor.Tetapi ekspresi Ibu Enda terlihat sangatlah aneh pada waktu
itu.Ia terlihat memaksakan untuk tersenyum, daripada ikut bahagia seperti
guru-guru lain.
Berjuang lagi
Pengumuman
itu membuatku melanjutkan perjuanganku yang telah berhasil sebelumnya.Tapi kali
ini lebih “ekstrem” dari sebelumnya.Jika sebelumnya aku hanya melakukan
pembinaan sampai pukul 5.30, kali ini Ibu Enda memintaku untuk melanjutkan lagi
pada malam hari.Jika ditotal, pembinaanku menjadi 3 kali sehari, dengan materi
yang sangat padat.Keluhan tentu saja terbesit dalam pikiranku. Tapi apa boleh
buat, aku telah terjun ke dunia ini dan aku harus melakukanya.
Masalah pertama yang kuhadapi
adalah dalam menentukan Seni yang akan aku angkat. Aku bukanlah orang yang ahli
dalam kesenian sehingga waktu itu semua guru yang berada di kantor ikut
mendiskusikanya. Diskusi berjalan sangat alot karena aku menolak hampir semua
saran guru hingga akhirnya cuma aku, Ibu Enda dan Pak Wayanlah yang tersisa dalam
menentukan karya yang akan aku lombakan.
Saat itulah merupakan titik
balik dimana aku mengetahui semua.Semua yang guru-guru simpan selama ini.
Mereka dengan susah payah mengurusku padahal mereka memiliki masalah pribadi
yang harus diselesaikan.Suasana sangat janggal waktu itu.Untunglah suami Ibu
Enda, Pak Kadek, datang membawa sebuah bingkai foto.Kebetulan anak didik dari
Pak Kadeklah yang mewakili kecamatanku untuk kategori perempuan.
Diskusi kemudian berpindah ke
rumah Ibu Enda.Pak Wayan pamit pulang untuk menemui istrinya yang sendiri di
rumah.Diskusiku denganIbu Enda dan Pak Kadek sempat menimbulkan masalah kecil.Mereka
berdua sempat memiliki perbedaan pendapat yang akhirnya dapat diselesaikan.Waktu
itu Ibu Enda sedang menggendong Eri, putri bungsunya, sedangkan Esa, putri
sulungnya, menarik-narik baju Ibunya dan ngambek. Di sisi lain, Ibu Enda
sendiri sedang hamil besar.Situasi itu membuatku begitu bingung. Aku seperti
seorang pengganggu yang masuk ke dalam rumah orang laintanpa diundang.Baru aku
tahu bahwa seorang guru ternyata memiliki dua dunia yang harus dijalani
bersama-sama secara seimbang.
Ketika Ibu Enda mencoba
mengajariku, ia berusaha sambil menyuapi Eri. Tangan kananya ia gunakan untuk
membukakan buku dan mengajariku, sedangkan tangan kirinya digunakan untuk
menyuapi Eri.Belum lagi Esa yang menangis di pojok rumah karena tidak
diperhatikan oleh Ibunya.Pak Kadek yang mencoba menenangkan Esa malah
membuatnya menangis makin keras.Ditambah lagi hari sudah malam.Kejadian
tersebut benar-benar membekas sampai sekarang karena saat itulah aku mengetahui
sisi balik guru.
Kejadian tersebut akhirnya
berlalu.Esa dan Eri telah tertidur lelap di dekat Pak Kadek.Ibu Enda datang dan
menghela napas panjang. Disitulah ia mulai menceritakan semuanya kepadaku.Sebagai
guru baru yang membuat SDku langsung melejit,Ibu Enda memiliki tanggung jawab
besar untuk meneruskan kredibilitas sekolah.Ia tdak mau dikatakan “anget-anget
kotoran ayam” olehpihak lain.Ia ingin membuktikan kepada semua orang bahwa
usaha keras dan pengabdian yang ia berikan bukan semata-mata keberuntungan.
Maka dari ituia rela sampai mengorbankan waktu yang seharusnya diperuntukan
oleh keluargauntuk mendidiku. Keesokan harinya, Ibu Enda pula harus mengajar
teman lain sehingga ia harus mempersiapkan materi.Persiapan materi ini
dilakukanya di sela-sela mengajariku.Ia pula berharap kepadaku untuk berusaha
demi nama baik sekolah dan keluarga. Satu kalimat yang paling kuingat sampai
sekarang dalam situasi itu adalah
“Gus, kamu anak
yang sangat berpotensi. Ibu harap kamu jangan menjadi seorang guru seperti ibu,
atau seperti guru-guru lain.Ibu ingin kamu menjadi orang yang lebih sukses dari
Ibu. Jika kamu menjadi guru, pengorbananya jauh lebih besar dari apa yang kamu
dapatkan.Ibu tidak pingin kamu menjalani kesulitan yang Ibu Alami. Sekali lagi
jangan menjadi guru, tetapi jadilah ‘orang’ yang bisa mensejahterakan
guru-guru” kata Ibu Enda menasehatiku sambil menunjukan tumpukan buku yang ia
miliki pada sebuah lemari. Ibu Enda mengatakan semua itu dengan senyum yang
dipaksakan dan cara menceramahi yang khas.
Aku terdiam, tidak dapat
mengatakan apapun.Perkataan itu begitu menyentuh, masuk ke dalam dan
mempengaruhi pikiranku. Saat itu, apa yang Ibu Enda rasakan benar-benar aku
rasakan.Itu lebih dari sekedar rasa empati. Maka, sejak saat itu aku memutuskan
untuk menjadi “seseorang” di masa depan.
Sehari sebelum lomba
Semua persiapan telah selesai,
kecuali seni yang akan aku tunjukan.Hari terakhir ini kumanfaatkan untuk menyelesaikan
karya bayanganku.Pak wayan dan aku sedang sibuk berkutat dengan bingaki foto
berhias yang masih rumpang. Ibu Enda sibuk mempersiapkan semua hal yang akan
aku bawa besok.Dengan sangat terpaksa Pak Wayan harus pulang untuk menemui
istrinya.
Hal diluar rencana terjadi dan
menyebabkan aku harus mencari Pak Wayan.Sesampainya disana aku berdiskusi
dankami berdua memutuskan untuk menyelesaikanya di sekolah.Penyempurnaan ini
ternyata cukup memakan waktu.Kami bekerja dengan anggota empat orang saja baru
mencapai kata sepakat setelah waktu menunjukan pukul 7 sore.Senyum terpancar
dari wajah kami semua karena kesuksesan yang telah kami peroleh.Kami pulang ke
rumah masing-masing dengan wajah “lusuh” karena belum mandi.
Pertempuran final
Hari yang kutunggu-tunggupun
tiba.Lomba terbagi dalam dua hari dimana hari pertama adalah olahraga dan
keterampilan sedangkan hari kedua merupakan tes akademik.Berbagai nasehat
menghujaniku sebelum berangkat terutama dari Pak Wayan yang notabene sangat
berperan dalam segi olahraga.Cabang olahraga yang dilombakan adalah lari.Kami
lari mengelilingi lapangan besar sebanyak enam kali. Hal kecil yang kulakukan
sesaat sebelum lomba membuat apa yang aku perjuangkan sebelumnya gagal total.Aku
minum terlalu banyak sehingga perutku sakit dan tidak mampu berlari dengan
baik.Walau aku telah berjuang dengan sekuat tenaga hingga aku hampir pingsan,
aku tetap menduduki posisi terakhir.
Pada waktu itu, aku tidak
langsung mengetahui bahwa aku berada pada posisi terakhir karena aku sangat
lelah dan lombapun langsung dilanjutkan.Lomba selanjutnya adalah membaca
pidato.Ibu Enda sangat khawatir karena pada saat aku tampil, semua siswa SD
sedang beristirahat.Tapi keraguan Ibu Enda aku jawab dengan penampilanku yang
gemilang.Aku sangat percaya diri karena motivasi yang diberikan oleh semua
guru.
Hari kedua merupakan tes mata
pelajaran, senam dan pengumuman juara.Senam sudah bukan menjadi “momok” bagiku.Tingkat
kesulitan soal mungkin yang dikatakan sebagai ancaman.Kesulitan soal jauh lebih
tinggi dari yang selama ini aku ketahui.Tetapi, aku mencoba untuk melakukanya
semaksimal mungkin.
Saat-saat yang paling
menegangkan waktu itu adalah ketika pengumuman juara.Ibu Enda yang merasa yakin
aku menjadi juara tetap cemas.Wajahnya menunjukan hal berbeda dari sebelumnya.Kecamatanku
merupakan yang pertama dibacakan. Setelah pembacaan ke lima nilaiku tetap
memimpin.Aku dan Ibu Enda sudah merasa sangat yakin tetapi harapan kami
akhirnya runtuh ketika wakil kecamatan Buleleng memiliki nilai yang mepet
denganku.Sialnya, nilaiku lebih rendah 1.30an darinya sehingga aku menjadi
juara ke dua.
Ibu Enda sangat kesal mendengar
semua itu.Ia tidak menyangka bahwa aku dikalahkan oleh tuan rumah. Ibu Enda
sangat yakin bahwa aku yang akan menjadi juara pertama karena nilai dari
beberapa juri mengunggulkanku jauh dari juara pertama.Saat itu kali pertama Ibu
Enda kulihat marah dan menentang juri.Ia berpendapat bahwa karena aku mendapat
posisi terakhir pada lomba lari, nilaiku dijatuhkan pada sisi itu.Aku sangat
mengerti kekecewaan Ibu Enda saat itu.Kita telah berjuang dengan sangat keras
bersama-sama tetapi kita kalah dengan nilai yang sangat mepet dan alasan yang
kurang masuk akal bagi kami.
Aku sangat kecewa pada waktu
itu, seandainya saja aku lebih kuat dan tidak minum air, pasti aku mendapatkan
hasil yang lebih memuaskan.Aku terus menyalahkan diri sendiri.Tanpa sadar, aku
meneteskan air mata dibelakang mereka.Aku menyalahkan diriku sendiri, dan
meminta maaf kepada Ibu Enda.Ibu Enda sadar dan akhirnya rela menerima
kekalahan kita.Sungguh merupakan guru yang sangat hebat bagiku.
Informasipun tersebar dan semua
guru termasuk Pak Wayan mengetahuinya.Aku tidak dapat memberi hadiah yang
maksimal kepada Pak Wayan yangharus pindah mengajar.Sejak saat itu, kubulatkan
tekad untuk tidak menjadi guru, bukan karena aku membenci guru.Tetapi, semua
itu kulakukan karena rasa hormatku yang benar-benar menghargai danmengagumi
guru.Tunggulah Bapak dan Ibu guru, aku akan membalas pengabdian tulus kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar