Labels

Jumat, 12 Oktober 2012

Lomba Blog Indonesia berkibar


Aku Tidak Akan Jadi Guru,Tapi….

Langit sedang mendung, bau hujan sudah mulai tercium oleh hidung. Seorang guru tiba-tiba memanggilku ketika jam pelajaran masih berlangsung.Sesaat itu juga, guru yang sedang mengajar keluar untuk menjawab panggilan Ibu Enda. Mereka berbisik beberapa menit dan Ibu Enda memangggilku serta seorang teman lain dengan sebuah isyarat, yang tentu saja membuatku sangat bingung.Dengan seribu pertanyaan, aku menghampirinya.


“Selamat nak kami memilih kalian menjadi wakil sekolah dalam lomba siswa berprestasi” kata Ibu Enda dengan beberapa tetes keringat yang sudah menghiasi wajahnya.

“I..Iya buk” hanya kata itulah yang dapat keluar dari mulutku.Memang, itu bukan kali pertama aku mengikuti sebuah lomba.Tetapi lomba siswa berprestasi itu merupakan lomba yang sangat bergengsi.

                Sepulangnya dari sekolah, tentu saja berita ini kusampaikan secara langsung kepada orangtua. Mereka sangat senang ketika mendengarku akan mengikuti lomba lagi.Tidak seperti hari-hari biasanya, akupun segera bergegas menuju rumah Ibu Enda sesuai yang ia minta kepadaku sesaat setelah memanggilku di kelas.
                Ibu Enda sangatlah berbeda dari keseharian di kelas.Ia banyak basa-basi sebelum mulai mengajar. Ibu Enda tinggal di sebuah mess kecil dipojok sekolah. Suaminya merupakan warga asli Tejakula sedangkan ia merupakan orang yang bukan berasal dari Tejakula. Ibu Enda memiliki dua orang putri, dimana salah satu diantaranya adalah putri kandung dan putri lain merupakan titipan dari saudaranya.  Jumlah tersebut akan segera bertambah karean Ibu Enda sedang hamil muda.

                Kesenanganku akan mengikuti lomba tiba-tiba saja hilang begitu saja ketika Ibu Enda memberitahu konsekwensiku mengikuti lomba itu.

“Ini akan sangat berat, tapi nanti hasilnya akan lebih dari yang kamu bayangkan,”kira-kira begitulah pesan Ibu Enda. Jiwaku yang masih kecil membuatku merasa tertantang dan ingin tahu lebih banyak lagi apa yang akan terjadi selanjutnya jika aku mengiyakan tawaranya.

                Seolah mengetahui apa yang aku pikirkan, Ibu Enda beranjak dari kursinya untuk pergi ke kamarnya.Ia datang bukan dengan sebuah buku, melainkan setumpuk buku tebal dari kelas 4 sampai dengan kelas 6. Dengan kata lain aku harus mengingat satu tingkat materi di bawah dan di atas tingkatku berdiri saat ini.Tentu sangat berat rasanya karena mata pelajaran yang diujikan hamper secara keseluruhan termasuk olahraga, mata pelajaran yang paling sulit bagiku.

Keesokan harinya

                Sesaat setelah pulang sekolah, aku makan dengan tergesa-gesa dan berpamitan untuk belajar di rumah Ibu Enda.Pembinaan pada waktu itu membahas tentang IPA kelas enam.Tentu saja kebingungan yang memenuhi pikiranku tatkala mendengar penjelasan dari ibu Enda.Entah kenapa setelah beberapa lama aku menjadi terbiasa.Bukan terbiasa untuk belajar, melainkan terbiasa untuk berusaha dan berjuang menuasai materi yang menggantung setingkat di atasku.Pembinaan itu selesai pada pukul 5.30 sore.Wajah lelah sudah sangat jelas terukir, diwajah kami berdua.Rasa senangtentu saja menggelayut ingin segera bersantai di rumah.

Dua hari sebelum lomba

                Pagi itu agak berbeda dengan pagi-pagi yang lain.Ketika temanku sedang menikmati hari libur, aku harus berlatih senam.Minggu itu aku dilatih oleh guru olah raga baru yang notabene adalah guru abdi di sekolahku, tentu saja ditemani oleh Ibu Enda.

                Setelah dua kali melakukan menyelesaikan senam yang akan dilombakan, Pak wayan, guru baru itu, menghampiriku.

“Ada sesuatu yang aneh ketika kamu melakukan senam tadi.Kamu seperti tidak memberikan tenaga sedikitpun sehingga gerakanmu terlihat lemas.Kamu seperti membenci dan tidak serius dalam melakukan senam ini” kata pak wayan to the point.Tentu saja aku kesal dikatakan seperti itu.Menurutku, semua tenaga telah kukeluarkan untuk mengiringi musik sesuai irama tetapi aku dikatakan tidak serius.

                Ketika senam ketiga akan berlangsung, Pak Wayan berbisik kepada Ibu Enda, entah apa yang mereka diskusikan.Ibu Enda menghampiri dan menasehatiku.

Setelah diceramahi, aku baru menyadari kesalahanku dalam senam.Aku memang melakukanya secara serius. Tetapi aku sama sekali tidak memberikan tenaga kepada badanku untuk bergerak, jadi kesannya aku tidak bersemangat dan menyerupai orang yang terpaksa.Sesuatu yang paling kuingat saat itu adalah ketika Ibu Enda memegang tangan kiriku dan menyuruhku menggerakkan seperti biasa. Kemudian ia membandingkanya dengan tangan kananku yang ia minta untuk beri tenaga

“Kepalkan gus, sama sperti orang ketika memukul sesuatu. Genggam tanganmu kuat-kuat” katanya sambil dengan telaten memperlihatkan perbedaan antara tangan kiri dan kananku.

                Secercah cahaya tentu tanpa sadar menyentuh alam bawah sadarku.

“Itu dia, aku menemukanya” kataku dalam hati.

                Senampun diulangi dari awal, tentunya dengan jurus baru tadi.Saat itu pertama kalinya aku merasakan senam yang sesungguhnya.Semangat sangat terasa ketika aku menirukan intruksi Pak Wayan yang sebelumnya terkesan membosankan.

                Tape dimatikan lagi ketika senam akan memasui gerakan pendinginan.Pak wayan ternyata mengetahui keadaanku dan memutuskan untuk menyelesaikan latihan.

                Di rumah aku merasa sangat senang karena aku menyadari bahwa semua yang kulakukan ternyata tidak kulandasi dengan semangat.Mungkin itu juga alasan mengapa teman-teman lain selalu mengejekku dan menempatkan aku menjadi pelengkap penderita. Apapun itu, yang jelas salah satu alasanku malu tampil di depan umum dalam hal apapun adalah karena aku memiliki kekurangan yang terus dijadikan bahan ejekan oleh teman-temanku. Aku memang tidak sesempurna teman lain. Karena sebuah kecelakaan masa kecil, leherku tidak dapat aku tegakkan dengan sempurna sehingga aku menjadi sangat minder.

Hari terakhir untuk latihan

                Sebelum latihan, aku menceritakan ketakutan dan masalahku kepada Ibu Enda dan responya sangat membuatku terkejut.Ia pun menceramahiku terhadap ketakutan yang aku miliki. Waktu itu aku mulai sedikit sadar mengapa ia dikatakan sebagai guru yang galak.

                Datangnya Pak Wayan membuat latihan senam harus dilaksanakan.Senam terasa sangat berbeda setelah kesalahanku dibenahai kemarin.Apalagi Ibu Endapada waktu itu menyemangatiku dari luar lapangan dengan dramatisasinya yang sangat khas.Senampun selesai, dan dilanjutkan oleh latihan bidang akademik oleh Ibu Enda.Pak wayan memacu sepeda motornya meninggalkan sekolah.

                Latihan terakhir lebih kepada latihan soal.Materi yangdiberikan juga tidak terlalu berat sehingga aku merasa sangat senang ketika pembelajaran telah selesai.

Memulai pertempuran

                Aku berangkat bersama partnerku, Puspa, cewek yang terpilihmengikuti lomba selain aku.Panitia penyelenggara meminta setiap sekolah untuk mengirimkan dua wakilnya, laki-laki dan perempuan, dalam kompetisi ini.

                Detak jantungku mulai meningkat, bahkan mendahului mulainya lomba.Semua perwakilan dari satu kecamatan telah memenuhi SD 8 yang menjadi tempat perlombaan.Penilaian pertama adalah senam. Kabar baiknya, urutan tampil di urut dari nomor sekolah sehingga aku yang sekolah di SD ke 6 dari 8 SD di Tejakula mendapat tempat agak dibelakang dan dilanjutkan dengan kecamatan lain.

“Semangat gus. Jangan lihat kanan kiri, anggap kamu yang paling bisa dan anggap semua orang selain kamu salah.”Kata Ibu Enda memberiku semangat sesaat sebelum terjun ke lapangan. Pak Wayanpun turut mengacungi jempol dari sisi lain lapangan yang menambah semangatku untuk tampil.

                Tidak ada masalah dengan penampilanku pada waktu itu, demam “lapangan” untungnya sudah berakhir.Gerakan kemudian memasuki fase pendinginan. Terjadi kekacauan gerakan pada saat senam akan berakhir.Sebagian besar peserta melakukan gerakan berbeda denganku.Keinginan untuk mengubah gerakan kubatalkan karena aku mengingat kata-kata Ibu Enda.Akupun dengan percaya diri melanjutkan senam sampai akhir.

                Kabar baik kujumpai setelah keluar lapangan karena gerakanku ternyata benar.Aku sangat berterima kasih kepada Ibu Enda pada waktu itu, tetapi aku tidak berani untukmengungkapkanya secara langsung.

                Lomba dilanjutkan dengan tes tulis yang terdiri dari beberapa mata pelajaran yang salah satunya adalah Matematika, pelajaran yang kusukai.Betapa terkejutnya aku ketika soal matematika yang kukerjakan merupakan soal-soal olimpiade yang beberapa waktu laludibahas saat pembinaan. Aku memang pernah mengikuti olimpiade matematika dan soalnya tidak jauh berbeda dari yang diujikan. Untuk siswa lain, mereka tampak sangat kesulitan dalam mengerjakan soal itu.

                Setelah selesai mengerjakan mata pelajaran terakhir, aku segera keluar dari kelas dan mencari Ibu Enda serta Pak Wayan.Mereka berdua rupanya telah menunggu dengan harap-harap cemas.Aku bergegas mencari mereka dan tentu saja bertanya tentang soal-soal yang membuatku kesulitan. Begitu juga denga Puspa, kami berempat saling share sesuatu saat lomba tadi.

“Yaah tidak apa-apa, yang jelas kamu sudah berusaha dan hasilnya mudah-mudahan murni,” harap Ibu Enda padaku.Setelah berkenalan dan bercengkrama dengan teman-teman baru, kamipun segera pulang.

Kembali hidup normal

                Waktu itu merupakan jam dimana aku harus pulang dari sekolah.Tiba-tiba bapak kepala sekolah memanggilku untuk menghadap ke ruang guru. Di sana pula diumumkan bahwa aku menjadi juara pertama dalam kategori putra dan akan berlomba ke tingkat kabupaten.Perasaanku tidak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Aku begitu senang sampai-sampai aku berteriak di kantor.Tetapi ekspresi Ibu Enda terlihat sangatlah aneh pada waktu itu.Ia terlihat memaksakan untuk tersenyum, daripada ikut bahagia seperti guru-guru lain.

Berjuang lagi

                Pengumuman itu membuatku melanjutkan perjuanganku yang telah berhasil sebelumnya.Tapi kali ini lebih “ekstrem” dari sebelumnya.Jika sebelumnya aku hanya melakukan pembinaan sampai pukul 5.30, kali ini Ibu Enda memintaku untuk melanjutkan lagi pada malam hari.Jika ditotal, pembinaanku menjadi 3 kali sehari, dengan materi yang sangat padat.Keluhan tentu saja terbesit dalam pikiranku. Tapi apa boleh buat, aku telah terjun ke dunia ini dan aku harus melakukanya.

                Masalah pertama yang kuhadapi adalah dalam menentukan Seni yang akan aku angkat. Aku bukanlah orang yang ahli dalam kesenian sehingga waktu itu semua guru yang berada di kantor ikut mendiskusikanya. Diskusi berjalan sangat alot karena aku menolak hampir semua saran guru hingga akhirnya cuma aku, Ibu Enda dan Pak Wayanlah yang tersisa dalam menentukan karya yang akan aku lombakan.

                Saat itulah merupakan titik balik dimana aku mengetahui semua.Semua yang guru-guru simpan selama ini. Mereka dengan susah payah mengurusku padahal mereka memiliki masalah pribadi yang harus diselesaikan.Suasana sangat janggal waktu itu.Untunglah suami Ibu Enda, Pak Kadek, datang membawa sebuah bingkai foto.Kebetulan anak didik dari Pak Kadeklah yang mewakili kecamatanku untuk kategori perempuan.

                Diskusi kemudian berpindah ke rumah Ibu Enda.Pak Wayan pamit pulang untuk menemui istrinya yang sendiri di rumah.Diskusiku denganIbu Enda dan Pak Kadek sempat menimbulkan masalah kecil.Mereka berdua sempat memiliki perbedaan pendapat yang akhirnya dapat diselesaikan.Waktu itu Ibu Enda sedang menggendong Eri, putri bungsunya, sedangkan Esa, putri sulungnya, menarik-narik baju Ibunya dan ngambek. Di sisi lain, Ibu Enda sendiri sedang hamil besar.Situasi itu membuatku begitu bingung. Aku seperti seorang pengganggu yang masuk ke dalam rumah orang laintanpa diundang.Baru aku tahu bahwa seorang guru ternyata memiliki dua dunia yang harus dijalani bersama-sama secara seimbang.

                Ketika Ibu Enda mencoba mengajariku, ia berusaha sambil menyuapi Eri. Tangan kananya ia gunakan untuk membukakan buku dan mengajariku, sedangkan tangan kirinya digunakan untuk menyuapi Eri.Belum lagi Esa yang menangis di pojok rumah karena tidak diperhatikan oleh Ibunya.Pak Kadek yang mencoba menenangkan Esa malah membuatnya menangis makin keras.Ditambah lagi hari sudah malam.Kejadian tersebut benar-benar membekas sampai sekarang karena saat itulah aku mengetahui sisi balik guru.

                Kejadian tersebut akhirnya berlalu.Esa dan Eri telah tertidur lelap di dekat Pak Kadek.Ibu Enda datang dan menghela napas panjang. Disitulah ia mulai menceritakan semuanya kepadaku.Sebagai guru baru yang membuat SDku langsung melejit,Ibu Enda memiliki tanggung jawab besar untuk meneruskan kredibilitas sekolah.Ia tdak mau dikatakan “anget-anget kotoran ayam” olehpihak lain.Ia ingin membuktikan kepada semua orang bahwa usaha keras dan pengabdian yang ia berikan bukan semata-mata keberuntungan. Maka dari ituia rela sampai mengorbankan waktu yang seharusnya diperuntukan oleh keluargauntuk mendidiku. Keesokan harinya, Ibu Enda pula harus mengajar teman lain sehingga ia harus mempersiapkan materi.Persiapan materi ini dilakukanya di sela-sela mengajariku.Ia pula berharap kepadaku untuk berusaha demi nama baik sekolah dan keluarga. Satu kalimat yang paling kuingat sampai sekarang dalam situasi itu adalah

“Gus, kamu anak yang sangat berpotensi. Ibu harap kamu jangan menjadi seorang guru seperti ibu, atau seperti guru-guru lain.Ibu ingin kamu menjadi orang yang lebih sukses dari Ibu. Jika kamu menjadi guru, pengorbananya jauh lebih besar dari apa yang kamu dapatkan.Ibu tidak pingin kamu menjalani kesulitan yang Ibu Alami. Sekali lagi jangan menjadi guru, tetapi jadilah ‘orang’ yang bisa mensejahterakan guru-guru” kata Ibu Enda menasehatiku sambil menunjukan tumpukan buku yang ia miliki pada sebuah lemari. Ibu Enda mengatakan semua itu dengan senyum yang dipaksakan dan cara menceramahi yang khas.

                Aku terdiam, tidak dapat mengatakan apapun.Perkataan itu begitu menyentuh, masuk ke dalam dan mempengaruhi pikiranku. Saat itu, apa yang Ibu Enda rasakan benar-benar aku rasakan.Itu lebih dari sekedar rasa empati. Maka, sejak saat itu aku memutuskan untuk menjadi “seseorang” di masa depan.

Sehari sebelum lomba

                Semua persiapan telah selesai, kecuali seni yang akan aku tunjukan.Hari terakhir ini kumanfaatkan untuk menyelesaikan karya bayanganku.Pak wayan dan aku sedang sibuk berkutat dengan bingaki foto berhias yang masih rumpang. Ibu Enda sibuk mempersiapkan semua hal yang akan aku bawa besok.Dengan sangat terpaksa Pak Wayan harus pulang untuk menemui istrinya.

                Hal diluar rencana terjadi dan menyebabkan aku harus mencari Pak Wayan.Sesampainya disana aku berdiskusi dankami berdua memutuskan untuk menyelesaikanya di sekolah.Penyempurnaan ini ternyata cukup memakan waktu.Kami bekerja dengan anggota empat orang saja baru mencapai kata sepakat setelah waktu menunjukan pukul 7 sore.Senyum terpancar dari wajah kami semua karena kesuksesan yang telah kami peroleh.Kami pulang ke rumah masing-masing dengan wajah “lusuh” karena belum mandi.

Pertempuran final

                Hari yang kutunggu-tunggupun tiba.Lomba terbagi dalam dua hari dimana hari pertama adalah olahraga dan keterampilan sedangkan hari kedua merupakan tes akademik.Berbagai nasehat menghujaniku sebelum berangkat terutama dari Pak Wayan yang notabene sangat berperan dalam segi olahraga.Cabang olahraga yang dilombakan adalah lari.Kami lari mengelilingi lapangan besar sebanyak enam kali. Hal kecil yang kulakukan sesaat sebelum lomba membuat apa yang aku perjuangkan sebelumnya gagal total.Aku minum terlalu banyak sehingga perutku sakit dan tidak mampu berlari dengan baik.Walau aku telah berjuang dengan sekuat tenaga hingga aku hampir pingsan, aku tetap menduduki posisi terakhir.

                Pada waktu itu, aku tidak langsung mengetahui bahwa aku berada pada posisi terakhir karena aku sangat lelah dan lombapun langsung dilanjutkan.Lomba selanjutnya adalah membaca pidato.Ibu Enda sangat khawatir karena pada saat aku tampil, semua siswa SD sedang beristirahat.Tapi keraguan Ibu Enda aku jawab dengan penampilanku yang gemilang.Aku sangat percaya diri karena motivasi yang diberikan oleh semua guru.

                Hari kedua merupakan tes mata pelajaran, senam dan pengumuman juara.Senam sudah bukan menjadi “momok” bagiku.Tingkat kesulitan soal mungkin yang dikatakan sebagai ancaman.Kesulitan soal jauh lebih tinggi dari yang selama ini aku ketahui.Tetapi, aku mencoba untuk melakukanya semaksimal mungkin.

                Saat-saat yang paling menegangkan waktu itu adalah ketika pengumuman juara.Ibu Enda yang merasa yakin aku menjadi juara tetap cemas.Wajahnya menunjukan hal berbeda dari sebelumnya.Kecamatanku merupakan yang pertama dibacakan. Setelah pembacaan ke lima nilaiku tetap memimpin.Aku dan Ibu Enda sudah merasa sangat yakin tetapi harapan kami akhirnya runtuh ketika wakil kecamatan Buleleng memiliki nilai yang mepet denganku.Sialnya, nilaiku lebih rendah 1.30an darinya sehingga aku menjadi juara ke dua.

                Ibu Enda sangat kesal mendengar semua itu.Ia tidak menyangka bahwa aku dikalahkan oleh tuan rumah. Ibu Enda sangat yakin bahwa aku yang akan menjadi juara pertama karena nilai dari beberapa juri mengunggulkanku jauh dari juara pertama.Saat itu kali pertama Ibu Enda kulihat marah dan menentang juri.Ia berpendapat bahwa karena aku mendapat posisi terakhir pada lomba lari, nilaiku dijatuhkan pada sisi itu.Aku sangat mengerti kekecewaan Ibu Enda saat itu.Kita telah berjuang dengan sangat keras bersama-sama tetapi kita kalah dengan nilai yang sangat mepet dan alasan yang kurang masuk akal bagi kami.

                Aku sangat kecewa pada waktu itu, seandainya saja aku lebih kuat dan tidak minum air, pasti aku mendapatkan hasil yang lebih memuaskan.Aku terus menyalahkan diri sendiri.Tanpa sadar, aku meneteskan air mata dibelakang mereka.Aku menyalahkan diriku sendiri, dan meminta maaf kepada Ibu Enda.Ibu Enda sadar dan akhirnya rela menerima kekalahan kita.Sungguh merupakan guru yang sangat hebat bagiku.

                Informasipun tersebar dan semua guru termasuk Pak Wayan mengetahuinya.Aku tidak dapat memberi hadiah yang maksimal kepada Pak Wayan yangharus pindah mengajar.Sejak saat itu, kubulatkan tekad untuk tidak menjadi guru, bukan karena aku membenci guru.Tetapi, semua itu kulakukan karena rasa hormatku yang benar-benar menghargai danmengagumi guru.Tunggulah Bapak dan Ibu guru, aku akan membalas pengabdian tulus kalian.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar